Ada sebagian orang, termasuk penulis, yang belum sempat diakikah oleh orangtuanya ketika dia lahir. Itu bisa jadi karena ketidaktahuan atau bisa pula ketidakmampuan orangtua.
Lalu, ketika sudah dewasa dan mampu untuk melaksanakan akikah, bolehkah melakukannya sebagai penebus akikah di waktu kecil? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebelum menjawab pertanyaan ini harus dipahami dahulu bahwa akikah itu merupakan tanggung jawab siapa?
Sebagian ulama mengatakan dia adalah tanggung jawab ayah. Sebagian lagi mengatakan dia adalah tanggung jawab wali. Sebagian lagi mengatakan dia adalah tanggung jawab anak.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberi kesimpulan bahwa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan akikah adalah ayah, tapi bila si ayah tidak melaksanakannya dengan alasan apapun maka si anak bisa saja melaksanakan akikah untuk dirinya sendiri ketika sudah dewasa tapi dengan niat mewakili atau menggantikan ayahnya yang dulu belum sempat mengakikahkan. (Mudzakkiratu Fiqh, Al-Utsaimin, Dar Al-Bashirah, juz 2 hal. 237).
Dalam hemat saya tak ada keterangan pasti bahwa akikah hanya menjadi hak orangtua. Sebab berdasarkan hadits, Samurah bin Jundub, Rasulullah SAW bersabda, ”Setiap anak yang lahir akan tertanggung oleh akikahnya.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasa`i dan Ahmad).
Artinya, kalau dia masih tertanggung atau terhutang sampai melaksanakan akikah untuk dirinya, maka tak ada salahnya akikah itu dilaksanakan menggunakan harta si anak itu sendiri. Wallahu a’lam.
Kembali ke permasalah di atas ada dua pendapat:
Madzhab pertama: Boleh saja orang yang sudah dewasa melaksanakan akikah untuk dirinya sendiri.
Ini adalah pendapat ’Atha`, Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin dari kalangan tabi’in. Sedang para ulama madzhab yang mendukung pendapat ini adalah sebagian ulama madzhab Hanbali dan sebagian Syafi’iyyah.
Pendapat kedua: Tidak boleh melakukan itu, karena bukan sunnah.
Ini adalah pendapat madzhab Maliki
Dalil-dalil:
Dalil yang membolehkan adalah hadits dari Anas RA bahwa Rasulullah SAW meng-akikah-kan dirinya sendiri setelah menjadi Nabi.
Shahihkah riwayat ini?
Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan riwayat Anas ini. Ada yang menganggap dha’if, seperti Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, An-Nawawi dalam Al-Majmu` syarh Al-Muhadzdzab, bahkan beliau mengatakan hadits ini batil. Demikian halnya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhish Al-Habir.
Ada pula yang menganggapnya shahih seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits nomor 2726. Beliau menjelaskan panjang lebar perbedaan para ulama mengenai hadits ini dan beliau berkesimpulan hadits ini shahih.
Hadits ini punya dua jalur dari Anas bin Malik:
Jalur pertama: Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (juz 4, hal. 329, no. 7960) berkata, ”Dari Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah SAW mengakikahkan dirinya ketika beliau telah diangkat menjadi Nabi.”
Jalur ini lemah sekali, karena Abdullah bin Muharrar telah disepakati kelemahannya.
Jalur kedua: Ath-Thahawi berkata, “Al-Hasan bin Abdullah bin Manshur Al-Balisi menceritakan kepada kami, katanya, Al-Haitsam bin Jamil menceritakan kepada kami, katanya, Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas menceritakan kepada kami, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bahwa Nabi saw mengakikahkan dirinya ketika beliau sudah diangkat menjadi Nabi.” (Musykil Al-Aatsar, juz 3 hal. 46, no. 883).
Al-Hasan bin Abdullah ini diperkuat oleh Al-Husain bin Nashr, yang juga dalam riwayat Ath-Thahawi.
Penguat lain adalah riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, dia berkata, “Ahmad menceritakan kepada kami, katanya, Al-Haitsam menceritakan kepada kami, katanya, Abdullah menceritakan kepada kami, dari Tsumamah, dari Anas, bahwa Nabi saw mengakikahkan dirinya setelah diutus menjadi Nabi.” (Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 1006).
Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id mengomentari riwayat Ath-Thabarani ini, “Perawi riwayat Ath-Thabarani ini adalah para perawi yang dipakai dalam kitab Shahih kecuali Al-Haitsam bin Jamil, tapi dia sendiri tsiqah. Sedangkan guru Ath-Thabarani yaitu Ahmad bin Mas’ud Al-Khayyath Al-Maqdisi tidak terdapat dalam Al-Mizan (maksudnya kitab Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi).”
Maksud pernyataan Al-Haitsami diatas bahwa Ahmad bin Mas’ud tidak masuk dalam kitab Al-Mizan karya gurunya Al-Hafizh Adz-Dzahabi, yang mana kitab tersebut memuat para perawi yang dha’if. Artinya, Ahmad bin Mas’ud bukan perawi yang dha’if. Wallahu a’lam.
Jalur ketiga sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 2726 yang menukil dari Al-Hafizh Ibnu Hajar, bahwa ada mutabi’ bagi Abdullah bin Muharrar yaitu Ismail bin Muslim Al-Makki, dari Qatadah, dari Anas. Ismail ini meskipun dha’if tapi tidak parah sehingga jalurnya bisa memperkuat jalur lain, terutama jalur Abdullah bin Mutsanna.
Abdullah bin Al-Mutsanna bin Abdullah bin Anas memang masih diragukan kredibilitasnya, tapi Al-Bukhari sendiri memakainya dalam Shahihnya bila dia meriwayatkan dari pamannya yaitu Tsumamah bin Abdullah bin Anas. Coba lihat Shahih Al-Bukhari, no. 92, 93, 954 dan banyak lagi (berdasarkan penomoran maktabah syamilah). Artinya, bila Abdullah bin Al-Mutsanna ini meriwayatkan dari Tsumamah maka haditsnya diterima. Sebab, tidak mungkin Al-Bukhari memasukkan jalur tersebut ke dalam shahihnya bila bermasalah. Wallahu a’lam.
Kesimpulannya hadits bahwa Nabi saw pernah mengakikahkan dirinya ketika sudah diutus menjadi Nabi adalah hadits yang shahih lighairih. Riwayat Abdullah bin Al-Mutsanna sanadnya hasan lidzaatih dan diperkuat oleh riwayat Ismail bin Muslim yang dha’if, sehingga menjadi shahih lighairih. Wallahu a’lam.
Hal ini juga difatwakan oleh para tabi’in, antara lain Muhammad bin Sirin sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, Hafsh menceritakan kepada kami, dari Asy’ats, dari Muhammad (Ibnu Sirin) dia berkata, “Andai kutahu bahwa aku belum diakikahkan, niscaya aku akan mengakikahkan diriku sendiri.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 5 hal. 530).
Juga difatwakan oleh Al-Hasan Al-Bashri sebagaimana riwayat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, juz 7 hal. 528 (terbitan Dar Al-Fikr) dari jalur Waki’, dari Ar-Rabi’ bin Shubaih, dari Al-Hasan yang berkata, “Jika kamu belum diakikahkan, maka berakikahlah meski engkau sudah jadi orang dewasa.” Perkataan Al-Hasan ini juga dinukil oleh Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, juz 11 hal. 264 (terbitan Al-Maktab Al-Islami, 1403 H).
Dalil yang melarang: Mereka menganggap bahwa akikah itu adalah tanggungan orangtua, maka tak ada hubungannya dengan si anak. Bila memang belum diakikahkan oleh orangtua maka tak ada hak si anak mengakikahkan dirinya. Lalu mereka mengatakan bahwa hadits Rasulullah saw mengakikahkan diri sendiri adalah hukum spesial untuk beliau.
Tapi dalil ini lemah, darimana bisa menentukan bahwa itu spesial untuk Rasulullah saw saja? Tidak ada keterangan valid untuk itu, sehingga apapun yang dilakukan beliau saw dan tidak ada keterangan valid bahwa itu spesial buat beliau semata, maka itu menjadi sunnah bagi ummatnya. Wallahu a’lam.
Dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al-Maulud (hal. 61 cetakan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1983), Ibnu Al-Qayyim menukil dari Al-Khallal bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “kalau ada orang yang mengakikahkan dirinya ketika dewasa maka aku tidak membencinya.”
Kesimpulannya silahkan bagi yang ingin mengakikahkan dirinya bila belum diakikahkan di waktu kecil. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar